oleh Roy Saputra
Your life is the fruit of your own doing. You have no one to blame but yourself.
-Joseph John Campbell-
Salah satu kegiatan yang paling sering saya lakukan ketika weekend adalah nonton TV. Dari saya kecil sampai segede ini, TV adalah teman yang paling setia. Dia nggak pernah nuntut perhatian berlebih di saat saya sedang sibuk, atau minta dibawakan martabak ketika lagi nggak enak badan.
Sejak menikah, saya sering nonton infotainment di Sabtu atau Minggu pagi. Di sela Sarah menyiapkan sarapan, biasanya saya mulai zapping channel TV, mencari acara gosip dengan konten yang paling menarik. Si artis itu habis beli ini lah, atau koleksi anu dari aktor FTV mana lah. Berita-berita kayak gitu sungguh informatif dan menambah daya saing masyarakat Indonesia dalam era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) ini.
Biasanya, saya dan Sarah akan berperan sebagai voice over tambahan dari artikel gosip yang sedang ditayangkan. Membumbu-bumbui tayangan gosip yang sebetulnya udah asin banget. Ibarat siaran bola, kami ini komentatornya.
“Kasian ya si anu,” kata Sarah, “Perasaan baik banget orangnya, tapi ditinggalin istrinya.”
“Ah paling istrinya udah jadi simpenan om-om, terus sekarang tas Hermes-nya lagi dijadiin kresek kerfor,” balas saya.
“…”
Anyway…
DVD juga jadi alternatif lain di akhir pekan saya dan Sarah. Bermalas-malasan di apartemen sambil maraton nonton DVD jadi pilihan menarik ketika tanggal tua menyapa. Darah kepo yang ada dalam diri saya dan Sarah membuat kami sama-sama menikmati film seri berbau polisi atau detektif. Mulai dari CSI Las Vegas, Criminal Minds, atau yang terbaru kayak Blindspot, semua kami lahap.
Namun waktu kecil, kartun yang disiarkan TV lokal jadi tontonan wajib biar nggak dikucilkan dari pergaulan. Kalau sekali aja ketinggalan Doraemon atau Power Rangers, bisa-bisa saya nggak diajak main Wak Wak Gung selama seminggu. Karena film kartun adalah lambang pergaulan di masa saya kecil dulu.
Tapi makin ke sini, acara TV makin aneh. Acara untuk anak-anak semakin sedikit. Tayangan kartun yang dulu rutin nongol di pagi dan sore hari, pelan-pelan menghilang. Ada yang raib karena tuntutan pasar, namun yang menurut saya aneh, ada yang punah karena dilarang oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Banyak kartun yang dianggap salah dan dipermasalahkan.
Contohnya, Tom and Jerry. KPI menilai kartun Tom and Jerry berbahaya bagi perkembangan fisik dan mental anak. Mereka khawatir kalau aktivitas kejar-kejaran Tom dengan Jerry yang kadang diselingi kegiatan pukul-pukulan dapat berdampak buruk bagi anak-anak yang menontonnya.
Ada juga tayangan anak-anak yang di-blur di area tertentu karena alasan pornografi. Mulai dari Shizuka saat pakai baju renang, sampai ikan di kartun SpongeBob SquarePants. Yaelah, lagian siapa sih yang horny lihat ikan pakai bikini?
Dari kecil, saya sudah nonton kartun yang ada adegan kejar-kejaran, pukul-pukulan, dan aktivitas lainnya yang dianggap berbahaya oleh KPI saat ini. Tapi saya tumbuh dengan wajar tuh. Saya nggak reflek ngambil wajan kalau lihat musuh saya lewat. Saya juga nggak horny kalo lihat ikan telanjang. Saya baik-baik aja.
Dan masa sih, pas kecil si KPI nggak pernah nonton Tom and Jerry? Lalu sekarang apa mereka hobi lari ngejar-ngejar tikus di lapangan? Nggak kan?
We are fine. We are doing just fine.
Mungkin karena dulu, saat menonton TV, saya selalu didampingi oleh orang yang lebih mengerti. Biasanya, saya ditemani nonton oleh Ibu. Yang kerap mengingatkan saya bahwa adegan dalam TV itu hanyalah sebuah tontonan. Yang sesekali menjelaskan mana yang boleh dicontoh dan mana yang jangan ditiru.
Memang idealnya, setiap tontonan harus juga menjadi tuntunan. Menjadi teladan. Menjadi panduan yang menyenangkan dalam menjalani hidup. Ibarat cerita, harus ada morale of the story. But hey, we live in this fu*ked up world. Di mana para pelaku industrinya bergantung pada rating. Di mana orang-orang di balik layarnya lebih suka teriak, “Yang penting laku!” daripada “Yang penting bagus!”
Apa itu salah mereka? Ya nggak bisa disalahin juga. Para penggiat industri TV tersebut punya kebutuhan hidup yang tentunya harus dipenuhi. Kebutuhan hidup yang mesti diprioritaskan. Itu urusan mereka.
Terserah.
Yang bisa kita lakukan adalah menjadi teman menonton yang mau memberi tahu. Meluangkan waktu agar si kecil nggak menelan mentah-mentah semuanya. Memilah dengan bijak demi sang anak.
Tapi memang lebih enak berpangku tangan dan menuding TV yang nggak bisa membela diri. Karena seberapa pun malas dan lalainya kita, pokoknya TV yang salah.
Sumber: saputraroy.com