Saya adalah anak bungsu. Ayah saya adalah seorang pekerja tambang. Rambutnya sudah putih semua, tapi tubuhnya masih terlihat kuat dan gagah. Hatinya lembut dan sayang keluarga. Hampir tiap pagi jika tidak sedang tugas, dia selalu mengantar saya sekolah. Kami selalu berangkat dengan motor bututnya, motor kebanggaan yang selalu dicucinya tiap hari. Motor itu begitu bututnya, sampai kadang bunyi kelontangan saat berjalan. Karena itu kadang saya malu dan pengen agar tubuh saya menciut dan menghilang saja kala motor ayah saya masuk halaman sekolah.
Jarak rumah kesekolah sekitar satu jam. Dia sering memakaikan jaket tebal agar saya tidak kedinginan diterpa angin pagi. Dan setibanya di depan pagar sekolah dia selalu menurunkan saya dan menciumi pipi saya berkali-kali. Namun setelah beranjak remaja, saya mulai risih kala ayah mencium pipi saya. Apalagi di depan teman-teman. Saya kan udah umur 12 tahun? Masak diciumin terus seperti anak balita aja? Sebel banget deh. Maka saya putuskan bahwa saya bukan anak kecil dan tidak butuh kecupan di pipi lagi.
Suatu hari, seperti biasa, ayah saya mengantar sampai di depan gerbang sekolah, menurunkan saya, tersenyum lebar dengan senyum khasnya dan memiringkan badannya hendak mencium pipi saya. Tapi saya segera mengangkat tangan dan berkata, “Jangan ayah, aku malu!” itu pertama kalinya saya berkata begitu dan wajah ayah tampak begitu keheranan. Dengan sebal saya berkata, “Yah, aku kan sudah besar dan sudah terlalu tua untuk dicium-cium kayak anak balita.”
Ayah memandang saya beberapa saat, rasanya begitu lama ia memandang dan matanya mulai sedikit berkaca-kaca dan basah. Namun aku lihat dia berusaha menahan diri. “Ok deh, kamu sudah gadis remaja sekarang. Ayah tak perlu menciummu lagi.” dia berbalik menuju motor bututnya dan melambaikan tangannya pamit pergi. Tak lama sesudah itu, ia ditugaskan ke Aceh dan ia hilang dan tak pernah kembali lagi. 26 Desember 2004 badai Tsunami meluluhlantahkan Meulaboh-Aceh dan menghancurkan pos tambang tempat dimana ayah saya ditugaskan.
Anda semua takkan bisa bayangkan apa yang akan saya korbankan sekedar untuk mendapatkan lagi ciuman sayang darinya. Untuk merasakan wajah tua dan kumisnya yang kasar. Mencium bau tubuhnya yang khas. Dan untuk merasakan lengannya yang kuat merangkul pundakku, mengacak-acak rambutku atau menggendong badanku.
Seandainya bisa, aku ingin ucapkan padanya, “Ayah, aku sudah dewasa, tapi aku tak pernah terlalu tua untuk mendapat ciuman darimu. I’m a big girl dad, but I never too old for your kiss.”