Majulah tanpa menyingkirkan orang lain. Naiklah tinggi tanpa menjatuhkan orang lain. Dan berbahagialah tanpa menyakiti orang lain.
Anonymous
Majulah tanpa menyingkirkan orang lain. Naiklah tinggi tanpa menjatuhkan orang lain. Dan berbahagialah tanpa menyakiti orang lain.
Anonymous
Honey is magic. Besides its delicious taste, it’s pretty much the only food that does not spoil while in an edible state. But why, exactly, doesn’t honey spoil?
Honey has a lot of pretty incredible properties. It’s been used and investigated for medicinal properties for a long time, especially as a treatment for open wounds. Herodotus reported that the Babylonians buried their dead in honey, and Alexander the Great may have been embalmed in a coffin full of honey.
The oldest honey ever found was unearthed in Georgia, and dates back over 5,000 years. So, if you found yourself in possession of some 5,000 year-old honey, could you eat it? Well…!!!
Chemical Properties of Honey
Honey is a sugar. You may have heard all sorts of things about the health benefits of substituting honey for sugar, which may or may not be true. While honey isn’t the same as regular, granulated, white sugar, it’s still a sugar. And sugars are hygroscopic – they don’t contain much water in their natural state. And very few bacteria and microorganisms can live in the resulting low-moisture environment.
Amina Harris, executive director of the Honey and Pollination Center at the Robert Mondavi Institute at Univeristy of California, Davis says, “Honey in its natural form is very low moisture. Very few bacteria or microorganisms can survive in an environment like that, they just die. They’re smothered by it, essentially.” The fact that organisms can’t survive long in honey means they don’t get the chance to spoil it.
Another thing that sets honey apart from other sugars is its acidity. Honey’s pH is between 3 and 4.5 (or, more precisely, 3.26-4.48), which also kills off anything trying to make a home in honey.
And there are a few factors behind honey’s low moisture content, including:
1. Bees
First, bees contribute to the low water content of honey by flapping their wings to dry out nectar. Second, the way bees get nectar into honey combs is by vomiting it there. This sounds really gross, but the chemical makeup of bees’ stomachs also contributes to honey’s long shelf-life. Bees’ stomachs have the enzyme glucose oxidase, which is added to the honey when the nectar is regurgitated. The enzyme and nectar break mix to create gluconic acid and hydrogen peroxide. The hydrogen peroxide is also a hostile force for anything trying to grow in honey. (Although, maybe not that effective in your cuts.)
2. Storage
This is important. The fact that honey is hydroscopic means that it has little water in its natural state but can easily suck in water if its exposed to it. If it does that, it could spoil. So the final key to honey remaining unspoiled is making sure it’s well sealed and stored in a dry place.
3. Crystallization
Related to storage is the problem of crystallized honey. NOTE: Honey that’s crystallized is not necessarily spoiled. Americans apparently see crystallized honey as “wrong”, so large packers filter honey to remove any particles which may lead to crystallization. Raw honey and organic honey doesn’t go through the process, but that doesn’t mean it’s going to spoil. Also, different honey has different rates of crystallization. So it may just be that the honey you have is more prone to crystallization.
So crystallization doesn’t mean there’s anything “wrong” with your honey – but if you don’t like it, the big tip is to not put your honey in the refrigerator. Below 52°F, crystallization slows down, so feel free to freeze your honey. And at temperatures above 77°F, honey resists crystallization best. But honey crystallizes most quickly at temperatures of between 50°F and 59°F. So, if you want to avoid having to heat your honey to remove crystals (apparently slow, indirect heat is best for that, by the way), avoid the refrigerator.
Caveat: Infants
So, yes, honey mostly doesn’t spoil. However, honey can contain spores of Clostridium botulinum. This isn’t harmful to adults and children over one year old, whose gastrointestinal tract is developed enough to deal with the spores. But children under one are at risk for infant botulism, so honey is not for your infant.
So could you eat 5,000 year old honey? Well, if it’s spent that time sealed and stored against moisture, sure. If it’s crystallized, it’s not spoiled, just heat it up and put it in your food of choice. Unless you’re under one year old. Then you’d have to wait.
Source: www.io9.com
Suatu hari di tahun 1950-an, seorang Ilmuwan asal Italia bernama Enrico Fermi lagi duduk-duduk di 7-Eleven bareng teman-temannya. Sambil minum Slurpee mereka ngobrol-ngobrol ringan kira-kira seperti ini:
Fermi: Guys, kan katanya di luar sana banyak planet yang bisa nampung kehidupan ya?
Ferma: Katanya sih iya.
Ferme: Kayaknya si Drake cuma asal ngitung tuh.
Fermo: Memangnya kenapa?
Fermi: Aku mikirnya gini, kalau memang banyak kehidupan disana, dan banyak makhluk pintar … kenapa makhluk tersebut belum datang kemari ya?
Ferma/Ferme/Fermo: …
Fermi: Where is everybody?
Artikel asli dalam bahasa Inggris dapat Anda baca di sini.
Di suatu malam yang jernih, coba sempatkan sekali waktu memandang ke langit penuh bintang.
Sebagian orang terutama yang lagi galau pasti tergugah hatinya dan langsung berubah menjadi pujangga, sedangkan sebagian orang lainnya mungkin merasa bodo amat.
Tapi siapapun pasti merasa ada yang kurang, “Umm wait … there’s something wrong!”
Langit sedemikian luas, bintang sedemikian banyak, tapi kenapa sebegini sunyi senyap. Kemana perginya semua orang? Kenapa belum ada yang datang ke sini?
Kalau kita berpegang pada Drake Equation, seharusnya kita mendapatkan hasil kurang lebih 1.000 sampai 100.000.000 civilization di galaksi Bima Sakti saja. Masa dari segini banyak civilization nggak ada satupun yang nyasar ke sini? Ini yang dirasain oleh Enrico Fermi kala itu.
Tahun 1964 Nikolai Semenovich Kardashev yang berasal dari Rusia mengajukan proposal jenis-jenis peradaban yang ada di alam semesta ini. Total ada 3 jenis peradaban.
Peradaban Tipe I yaitu peradaban yang menggunakan planet sebagai sumber energi, bahkan cenderung menghabiskan sumber daya planet itu sendiri. Kita mungkin berada disini, walaupun belum sepenuhnya. Carl Sagan bilang peradaban manusia itu masih di kisaran 0,7.
Peradaban Tipe II yaitu peradaban yang menuai energi dari bintang induk mereka. Bagaimana caranya mungkin masih gelap untuk manusia, tapi seseorang bernama Freeman Dyson dengan berani-beraninya berteori kalau peradaban tersebut membuat kubah sebesar Sharivan (lebih besar dari Gavan dong) yang menutupi bintang, lalu mengubah radiasi panas dari bintang itu menjadi energi. Kubah ini dinamakan Dyson Sphere.
Peradaban Tipe III jauh lebih advance dong dari kedua peradaban diatas. Nah peradaban tipe ini sudah menuai energi dari seluruh galaksi mereka. Sepertinya memang susah dibayangin, tapi kalau dibandingkan dengan peradaban manusia yang baru 100 ribuan tahun, dengan usia bumi yang 4.5 miliar tahun saja kita sudah seperti ini, apalagi ada sebuah peradaban kuno yang usia planetnya katakanlah 8 miliar tahun? Ingat lho, Big Bang itu terjadi 13 miliar tahun yang lalu, mungkin saja kan ada peradaban kuno sebelum Bumi yang sudah berevolusi ketingkat ekstrim. Who knows? Bayangin saja, evolusi teknologi manusia 4 miliar tahun yang akan datang kaya gimana.
Oh well, yang pasti si sifat dasar peradaban tipe III adalah ekspansif. Dimana mereka akan membuat koloni-koloni di planet dan bintang yang ada di galaksi mereka. Spore? Everyone?
Ini memang spekulatif, tapi kalaulah kita anggap rentang waktu sebuah peradaban lompat dari satu sistem planet ke sistem lain adalah 500 tahun, maka kurang lebih dalam 3.5 miliar tahun harusnya mereka sudah menguasai seisi galaksi.
Spekulasi lagi, kalau 1% saja dari seluruh peradaban intelek tersebut survive cukup lama sampai masuk ke peradaban kategori III, hitungannya kurang lebih ada 1.000 peradaban tipe III di galaksi kita saja loh. Bagaimanapun, biar sedikit pastilah kita orang pinggiran mendeteksi atau paling tidak merasakan kehadiran mereka. Tapi nyatanya kita nggak melihat apapun, nggak mendengar apapun, dan nggak dikunjungi siapapun.
Jadi “WHERE THE HELL IS EVERYBODY?!” – selamat datang di Fermi Paradox.
Terus terang belum ada jawabannya. Tapi paling tidak kita bisa bilang kemungkinan terbaik yang bisa menjelaskan paradox itu adalah kurang lebih sebagai berikut:
Grup 1: Tidak ada yang namanya peradaban Tipe II dan III, makanya nggak ada tanda-tanda dari mereka.
Grup ini menyatakan kemungkinan peradaban tipe I nggak bakal sampai ke tipe II atau III karena ada sesuatu yang menyebabkan begitu, yang dinamakan The Great Filter.
Gambarnya kira-kira seperti ini:
Pada suatu kurun waktu, semua peradaban berlomba-lomba berevolusi dari tipe 0 ke tipe diatasnya, sampai suatu saat mereka terbentur dinding yang memfilter sebagian besar dari mereka, yang menyebabkan cuma segelintir saja dari mereka yang bisa terus berevolusi ke tahap berikutnya. Analogi lain dari ini adalah sperma, anggap saja sperma ayah Anda berlomba-lomba ke sel telur ibu Anda sampai akhirnya menjadi Anda.
Nah, kalaulah kita anggap teori ini benar, yang jadi pertanyaannya adalah, bilamana (kapan) The Great Filter ini terjadi? Kalau kita berkaca ke peradaban kita sendiri, lalu kita tanya kapan The Great Filter terjadi, maka jawabannya ada 3 dimana 3 kemungkinan itu adalah: We’re rare, we’re first, or we’re fucked.
1. We’re Rare. Kita satu-satunya anomali yang berhasil melewati The Great Filter.
Teorema ini didukung Peter Ward dalam bukunya Rare Earth. Disini kita anggap The Great Filter sudah terjadi, nggak tahu entah itu saat kita melompat keluar dari kolam primordial dari bentuk protein organik ke makhluk hidup bersel tunggal, ketika Hominidae mulai belajar mukul memakai tulang, ketika Australopithecines mulai berjalan menggunakan dua kaki, atau bahkan event katatrospik yang lewat-lewat. Kalau memang begini ceritanya, kita adalah pemenang dan dengan kemajuan teknologi kita, bisa dibilang nggak ada lagi yang bisa menahan kita untuk terus berkembang jadi tipe II dan III.
2. We’re First. Kita yang pertama melewati The Great Filter.
Sama dengan poin 1 diatas, cuma bedanya kali ini ada beberapa peradaban lain yang berhasil melompati The Great Filter, cuma sayangnya mereka mengekor di belakang kita. Kita tetap jadi pemenang. Breaking the filter bukan sekedar anomali, tapi cuma probabilitas dan walaupun probabilitas-nya kecil, tapi kita berhasil.
3. We’re Fucked. Kita belum melewati The Great Filter.
Ini yang bikin eneg, kemungkinan paling jelek adalah kiamat belum datang. Bisa jadi The Great Filter itu, asteroid salah alamat, Gamma-ray bursts atau yang paling radikal adalah semua kehidupan dirancang untuk self destruct. Icarus yang terbang terlalu tinggi terbakar matahari, kerajaan yang terlalu megah akan hancur dengan sendirinya seperti Kerajaan Mesir atau Kerajaan Romawi. Sedangkan dalam kehidupan modern kita sekarang, kita mengenal istilah global warming dan perubahan iklim. Dalam nilai-nilai filosofis, saya lebih setuju dengan alasan ini. Bagus dalam mengerem kesombongan manusia.
Grup 2: Adalah antonim dari grup 1 yang menyatakan Tipe II dan III ada, tapi ada alasan logis kenapa kita tidak mendengar apa-apa dari mereka.
Grup ini mengesampingkan The Great Filter dan menyatakan evolusi itu terjadi ubiquitous dan lumrah. Peradaban manapun bisa menjadi tipe I/II/III. Grup ini mengajukan beberapa kemungkinan:
1. Entitas super intelek kemungkinan sudah pernah ke bumi, tapi pada zaman dahulu kala.
Dasar pemikirannya seperti ini: Yaelah manusia pintar kaya gini baru berapa lama sih? Paling lama 100.000 tahunan yang kalau dibandingin sama skala usia alam semesta nggak ada seujung kukunya. Kalau memang kehidupan lain sudah berevolusi miliaran tahun lalu, bisa jadi mereka sudah pernah ke Bumi sudah dari kapan tahun. Bisa jadi ketika mereka kesini, planet ini masih dipenuhi raptor sama T-Rex jadinya mereka pergi lagi. Atau ketika datang yang ada hanya orang-orang hitam bugil nari-nari ngelilingi api, nggak penting gitulah pokoknya.
2. Bumi ada di daerah pinggiran.
Analoginya, kalau yang ramai banyak manusianya itu Jakarta, Bumi itu ada di Boven Digoel Papua. Sebenernya ini sama dengan teori dasar Urban Planning yang mengatakan sebaran Central Bussines District itu teraglomerasi (bergumpal) ke pusat kota. Kalau dalam galaksi kita anggap pusat kotanya ya pusat galaksi.
3. Peradaban tipe III nggak mau ikut campur urusan peradaban primitif.
Coba bayangkan, peradaban tipe II atau III sudah advance, mereka sudah bisa menuhin semua kebutuhan mereka tanpa harus kemana-mana, ngapain lagi ngurusin manusia dan bumi yang nggak penting. Kalau yang saya bayangkan, peradaban tipe III itu sudah semi dewa yang tinggal menjentikan jari sudah bisa membuat apapun sekehendak mereka. Atau mungkin mereka sudah naik level jadi The Elevated One (semacam goal semua makhluk hidup), mereka sudah nggak tinggal lagi di dimensi fisik, mereka sudah nanggalin atribut fisika mereka dan cuma tinggal kesadaran murni, imajine that! Seperti tinggal di dunia matrix, immortal lagi.
4. Galaksi dalam perang bintang.
Kenapa kita nggak mendengar sinyal apa-apa dari luar sana? Karena semua orang lagi ngumpet di planet mereka masing-masing. Cuma ada satu makhluk idiot bernama manusia yang terus menerus ngirim sinyal ke angkasa, awas saja ntar didatengin predator baru nyaho dah. Beberapa film Hollywood sudah mengambil tema ini, misalnya Battleship dan Avenger. Stephen Hawking sendiri sudah mewanti-wanti agar manusia jangan melakukan kontak sama sekali sama alien, ini sama saja ngundang maut. Ingat nggak peradaban Aztec yang hancur didatangin penjajah Spanyol, nah kita bakalan mirip kayak gitu ntar. Teknologi kita jauh nggak ada apa-apanya dibanding mereka, kalau benar kita diinvansi habislah.
5. Ada satu peradaban super yang dominan di galaksi.
Ini seperti film Highlander, “There can be only one.” Jadi satu peradaban ini bakal datang ngehancurin semua peradaban yang dianggap mengancam kedaulatan mereka. Hancurkan sebelum tumbuh berkembang. Atau mungkin semua makhluk hidup di galaksi sengaja dikembangbiakkan sama mereka untuk suatu saat bakal dijadikan bahan baku makanan. Ingat The Harvester di Star Trek dan Mass Effect?
6. Manusia terlalu primitif.
Oke! Siapa bisa kasih garansi kalo alien masih memakai teknologi kuno bernama radio sederhana? Bahkan dalam usianya yang belum ada 200 tahun, kita sendiri menganggap teknologi itu sudah kuno. Sudah terganti oleh IrDA, GSM, CDMA, LTE, etc. Lha wong SETI masih pakai radio kok. Bisa jadi alien sudah memakai teknologi Subspace atau Undus-Mundus network untuk berkomunikasi, tapi kitanya saja yang belum tahu gimana cara dengarnya. Michio Kaku menganalogikan begini, “Manusia tidak ubahnya semut yang sama sekali tidak sadar ada jalan layang 10 jalur disamping sarang mereka.”
7. Kita sudah mendapat kontak, tapi pemerintah menyembunyikan kenyataan ini.
Ini cerita favoritnya penggemar teori konspirasi. Ceritanya di adopsi oleh film Men in Black.
8. The Prime Directive.
Diantara semua pilihan, ini adalah pilihan yang paling masuk akal. Star Trek tampaknya mengadopsi pola pikir ini. Intinya, semua makhluk cerdas di galaksi sana sudah berkongsi satu sama lain, dan membentuk federasi. Lalu untuk melindungi keragaman kultural, mereka menerapkan sebuah peraturan untuk tidak melakukan kontak kepada peradaban dibawah tipe II. Alasannya banyak, selain oleh karena keragaman kultural itu sendiri adalah karena ketidaksiapan peradaban primitif itu. Ingat kata Thor yang bilang, dengan buat senjata menggunakan energi dari Tesseract berarti manusia sudah siap ke perang dengan level lebih tinggi. Nah bayangin, kalau nggak ada Prime Directive dengan seenaknya peradaban tinggi menjajah dan menghancurkan peradaban rendah (seperti Navy Seal lawan suku terasing Amazon yang masih memakai tombak), ya habislah peradaban di galaksi ini. Nggak ada lagi kesetimbangan peradaban. Ini yang ingin dijaga oleh federasi. Tampaknya poin nomor 8 inilah yang paling disukai oleh pengemar UFO.
Diluar grup 1 dan 2 diatas, ada satu lagi solusi Fermi Paradox yang rada nyeleneh, yaitu:
Tidak ada yang namanya realitas, manusia hidup dalam simulasi komputer.
Kayaknya mengawang-awang dan fantastis, tapi jangan salah loh, ini beneran ada paper ilmiahnya, yang bikin orang Oxford pula, namanya Nick Bostrom. Paper-nya bisa dilihat disini.
Katanya ada entitas super cerdas di sebuah universe yang sedang membuat simulasi alam semesta, yaitu alam semesta yang kita tinggali sekarang. Nah sayangnya yang diprogram baru manusia, belum ada alien-alien lainnya. Sedangkan luasnya alam semesta cuma berupa hologram saja, sebenarnya alam semesta simulasi itu terbatas seperti di film Truman Show.
Pusing kan? Bagaimanapun namanya teori ya cuma sebatas teori, semua berbalik lagi ke kepercayaan masing-masing. Yang bisa diambil hikmahnya adalah, dalam Fermi Paradox, manusia cenderung dalam posisi insignificant alias nggak penting. Ini bagus buat dasar filosofis, bagaimana kita sekali lagi menyadari betapa kecilnya diri kita sendiri di alam semesta ini.
Sumber: www.kaskus.com
Children spell love … T-I-M-E.
Dr. Anthony P. Witham
Too much love never spoils children. Children become spoiled when we substitute presents for presence.
Dr. Anthony P. Witham
A dream doesn’t become reality through magic; it takes sweat, determination and hard work.
Sebuah kapal pesiar mengalami kecelakaan di laut dan akan segera tenggelam. Sepasang suami istri berlari menuju sekoci untuk menyelamatkan diri. Sampai di sana, mereka menyadari bahwa hanya ada tempat untuk satu orang yang tersisa. Segera sang suami melompat mendahului istrinya untuk mendapatkan tempat itu. Sang istri hanya bisa menatap kepadanya sambil meneriakkan sebuah kalimat sebelum sekoci menjauh dan kapal itu benar-benar menenggelamkannya.
Guru yang menceritakan kisah ini bertanya pada murid-muridnya, “Menurut kalian apa yang diteriakkan sang istri?”
Sebagian besar murid-murid itu menjawab:
“Aku benci kamu!”
“Kamu tahu aku buta!!!”
“Kamu egois!”
“Nggak tahu malu!”
Guru itu kemudian menyadari ada seorang murid yang diam saja. Guru itu meminta murid yang diam saja itu menjawab. Kata si murid, “Guru, saya yakin si istri pasti berteriak, ‘Tolong jaga anak kita baik-baik.’”
Guru itu terkejut dan bertanya, “Apa kamu sudah pernah mendengar cerita ini sebelumnya?”
Murid itu menggeleng, “Belum. Tapi itu yang dikatakan oleh mama saya sebelum dia meninggal karena penyakit kronis.”
Guru itu menatap seluruh kelas dan berkata, “Jawaban ini benar. Kapal itu kemudian benar-benar tenggelam dan sang suami membawa pulang anak mereka sendirian.”
Bertahun-tahun kemudian setelah sang suami meninggal, anak itu menemukan buku harian ayahnya. Di sana dia menemukan kenyataan bahwa, saat orangtuanya naik kapal pesiar itu, mereka sudah mengetahui bahwa sang ibu menderita penyakit kronis dan akan segera meninggal. Karena itulah, di saat darurat itu, ayahnya memutuskan mengambil satu-satunya kesempatan untuk bertahan hidup. Dia menulis di buku harian itu, “Betapa aku berharap untuk mati di bawah laut bersama denganmu. Tapi demi anak kita, aku harus membiarkan kamu tenggelam sendirian untuk selamanya di bawah sana.”
Cerita itu selesai. Dan seluruh kelas pun terdiam. Guru itu tahu bahwa murid-muridnya sekarang mengerti moral dari cerita tersebut, bahwa kebaikan dan kejahatan di dunia ini tidak sesederhana yang sering kita pikirkan. Ada berbagai macam komplikasi dan alasan di baliknya yang kadang sulit dimengerti. Karena itulah kita seharusnya jangan pernah melihat hanya di luar dan kemudian langsung menghakimi, apalagi tanpa tahu apa-apa.
Mereka yang sering membayar untuk orang lain, mungkin bukan berarti mereka kaya, tapi karena mereka menghargai hubungan daripada uang.
Mereka yang bekerja tanpa ada yang menyuruh, mungkin bukan karena mereka bodoh, tapi karena mereka menghargai konsep tanggung jawab.
Mereka yang minta maaf duluan setelah bertengkar, mungkin bukan karena mereka bersalah, tapi karena mereka menghargai orang lain.
Mereka yang mengulurkan tangan untuk menolongmu, mungkin bukan karena mereka merasa berhutang, tapi karena menganggap kamu adalah sahabat.
Mereka yang sering mengontakmu, mungkin bukan karena mereka tidak punya kesibukan, tapi karena kamu ada di dalam hatinya.
Mereka yang sering menyanjungmu setinggi langit, mungkin bukan karena engkau pahlawan, tapi mungkin karena mereka memaafkan keburukanmu.
Mereka yang selalu menghinamu dan menghakimimu, mungkin bukan karena mereka membencimu, tapi karena mereka ingin menguji ketulusan cintamu.
Namaku Bernard dan aku seorang pencinta binatang. Di rumah, aku memiliki banyak binatang peliharaan seperti kucing Persia, anjing Bulldog, anjing Labrador yang menjadi kesukaanku, ikan koi, burung beo, dan kura-kura.
Pada suatu hari aku mendapat sebuah e-mail dari sebuah Yayasan Penangkaran Hewan. E-mail tersebut berisikan foto-foto dari hewan-hewan yang terluka dan cacat, yayasan tersebut mengklaim bahwa mereka meminta sumbangan demi menyelamatkan hewan-hewan terlantar yang tersebut.
Dengan penuh perasaan iba, kulihat satu persatu foto hewan-hewan tersebut, ada seekor rusa yang kehilangan salah satu kakinya dan penuh luka akibat diburu oleh binatang buas, ada seekor kucing yang kehilangan salah satu matanya sedangkan mulutnya seperti terkoyak, ada seekor domba yang terlihat memiliki banyak darah di telinganya, ada seekor anjing yang kehilangan dua kaki depannya, dan masih banyak lagi.
Aku pun akhirnya memutuskan untuk mengirimkan sebagian besar simpananku untuk aku sumbangkan ke yayasan tersebut. Keesokan harinya aku kembali memperoleh e-mail dari yayasan tersebut. E-mail tersebut berisikan beberapa foto dari hewan-hewan yang sebelumnya terluka atau cacat, kini ditampilkan secara bertahap sudah kembali pulih, dan menjadi sehat kembali, serta ada sebuah lampiran video. Ketika kubuka video tersebut, ber-setting di sebuah peternakan, aku dapat melihat hewan-hewan yang terluka maupun cacat pada foto-foto sebelumnya, kini mereka sudah dapat berlari-lari kesana kemari, makan, dan beraktivitas seperti biasanya, seperti mereka tidak pernah mengalami luka maupun cacat tersebut.
Namun, seminggu setelah itu, aku melihat di berita bahwa Yayasan Penangkaran Hewan tersebut ditutup secara paksa oleh pemerintah, dan pemiliknya dikenai hukuman penjara. Aku berpikir, apa yang salah dengan perbuatan baik yang dilakukan pemilik yayasan tersebut? Ia meminta sumbangan dari sesama pencinta binatang untuk menyelamatkan banyak hewan terlantar yang terluka maupun cacat.
Aku bekerja sebagai tukang kayu di puncak gunung. Gunung tersebut memiliki lereng yang curam dan jarang dilewati oleh banyak orang, karena jarang sekali ada pemukiman penduduk di lereng gunung. Namun, ada desa kecil di kaki gunungnya dan disanalah tempat aku tinggal, setiap harinya aku mengendarai mobilku untuk pulang dan pergi ke tempat kerja.
Pada suatu hari, saat perjalanan pulang sehabis lelah bekerja, tiba-tiba ada sebuah mobil berwarna hitam yang hampir menabrakku dari arah yang berlawanan. Untung saja aku sempat menghindar, aku pikir bodoh sekali pengendara mobil tersebut, apa dia sedang mabuk? Beberapa meter kemudian, aku terkejut, kudapati seorang wanita sedang berdiri tepat ditengah jalurku dan sesegera mungkin kuinjak rem mobilku.
Aku buka kaca jendela mobilku dan menyapanya, “Hai! Apa yang sedang kau lakukan disana?”
Wanita tersebut lalu menengok ke arahku, dan menjawab, “Bisakah kau menolongku?”
Ketika ia memandangku, aku dapat melihat kesedihan yang terpancar di wajahnya, lalu kujawab, “Baiklah, apa yang bisa kubantu?”
Wanita tersebut berjalan menghampiriku dan mengatakan bahwa ia membutuhkan tumpangan. Lalu aku membukakan pintu mobil dan menanyakan kemana arah yang mau ditujunya.
“Apa kau melihat mobil yang melintas kearah yang berlawanan denganmu?” tanya wanita tersebut.
“Satu-satunya mobil yang kutemui dari arah yang berlawanan adalah mobil hitam yang hampir menabrakku tadi,” jawabku.
“Ya, itu maksudku!” kata wanita itu.
“Apa yang kau inginkan dari mobil itu?” tanyaku.
Kemudian wanita itu menjelaskan, “Itu adalah mobilku. Mobil itu sebenarnya berjalan tanpa awak dan sebelumnya aku mengendarai mobil itu sendirian. Lalu kusadari bahwa salah satu ban-nya bocor. Ketika aku keluar untuk memeriksa ban yang bocor tersebut, aku lupa untuk menarik rem tangan sehingga mobil tersebut meluncur di jalan miring yang lurus dan panjang ini dengan sendirinya, dan sepertinya mobilku telah berjalan cukup jauh.”
Aku tertegun setelah mendengar kisahnya. Kemudian kuputar balik mobilku untuk mengejar mobil wanita ini. Sesaat kemudian, aku melihat mobil hitam milik wanita tersebut sedang terhenti di sebuah tikungan karena menabrak pohon. Aku lalu memeriksa mobil tersebut, sepertinya kondisinya masih baik-baik saja dan layak jalan. Wanita tersebut mengucapkan terima kasih kepadaku dan kembali mengendarai mobil itu.
Sungguh pengalaman yang aneh, aku hampir ditabrak oleh mobil tanpa pengemudi, apabila lengah sedikit saja, aku bisa mati konyol.
Namaku Mugi, aku berumur 9 tahun dan saya tinggal di Tokyo, Jepang saat mengalami kejadian ini. Malam itu adalah malam tahun baru, orang tuaku pergi keluar kota dan aku sendirian di rumah. Hujan salju diluar sangat lebat dan dingin, orang tuaku berkata padaku bahwa mereka tidak akan pergi lama, jadi aku menunggu kepulangan mereka di ruang tamu sambil menonton televisi. Ada sebuah jendela kaca yang besar di dekat televisi, dan dari jendela tersebut, aku dapat melihat betapa lebatnya hujan salju diluar.
Aku duduk di sofa dan tengah menonton acara TV kesukaanku, tiba-tiba aku melihat sesosok figur yang tinggi dan berbadan tegap dari luar jendela di dekat TV tersebut, dan berjalan mendekat menuju rumahku. Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas karena hujan salju yang lebat. Semakin lama sosok tersebut semakin mendekat, akhirnya aku dapat melihat sosok tersebut merupakan seorang pria dan ia memegang sesuatu di tangannya yang sepertinya adalah pisau. Aku merasa sangat ketakutan, bahkan aku menutup seluruh tubuhku dengan selimut, dan kuberi ruang kecil untukku mengintip. Sosok pria tersebut kini berdiri tepat diluar jendela, dan sepertinya ia sedang menatap ke arahku. Seperti dugaanku, pria tersebut sedang membawa pisau besar, yang bisa saja membunuhku.
Dalam ketakutanku yang luar biasa itu, tiba-tiba pintu depan terbuka, dan ternyata itu adalah ayah dan ibuku yang telah pulang dari luar kota. Disaat aku melihat ke luar jendela, sosok pria tinggi dan mengerikan itu menghilang.
Aku langsung berlari dan memeluk ibuku, kemudian Ibuku bertanya, “Mengapa kau terlihat sangat ketakutan Nak?”
Aku menjawab sambil menangis di pelukannya, “Tepat diluar jendela dekat TV itu tadi, ada sesosok pria yang mengerikan dan sedang membawa pisau yang besar, sepertinya pria tersebut ingin membunuhku.”
Ibuku berkata, “Mungkin itu hanya halusinasimu saja Nak.”
“Benar, itu mungkin hanya halusinasimu saja, lagipula salju di luar sangat lebat, sangat jarang orang berjalan-jalan diluar pada saat seperti ini”, sahut ayahku.
Beberapa saat kemudian, secara kebetulan, Ayahku melihat jejak kaki bersalju di belakang sofa. Pada malam itu juga, aku dan kedua orang tuaku memutuskan untuk menginap di rumah nenekku selama beberapa hari.