Apa yang berjalan
empat kaki kala pagi,
dua kaki kala siang,
tiga kaki kala senja,
dan kembali empat kaki kala malam?
Bayangkan kita sedang berada di suatu jalan setapak menuju kota dan tiba-tiba melompat seekor makhluk berkepala manusia, berbadan singa, bersayap pula yang menanyakan teka-teki diatas. Salah menjawab akan berakibat fatal, badan kita akan dicabik-cabik sebelum dimakan dengan buas oleh makhluk gado-gado gabungan beberapa spesies tersebut.
Untuk yang akrab dengan cerita mitologi Yunani, pasti sangat akrab dengan cerita tersebut. Makhluk yang menghadang tiap pejalan kaki tidak lain adalah Sphinx. Patung Sphinx yang tersisa dan yang paling terkenal, kita ketahui menjaga tiga piramida besar di Mesir. Dalam mitologi, Raja Thebes sangat khawatir dengan keberadaan Sphinx di persimpangan jalan menuju kotanya. Tiap pejalan kaki takut menuju Thebes dan menjadikannya kota mati. Akhirnya Raja Thebes membuat sayembara, siapa yang berhasil mengusir Sphinx, bagaimanapun caranya, akan menjadi Raja Thebes. Sebenarnya cerita ini khas dongeng sekali. Kerajaan bermasalah? Cek. Raja sudah tua? Cek. Sayembara dengan hadiah besar? Cek. Pahlawan yang berhasil menyelesaikan masalah? Cek.
Oke! Singkat cerita, pahlawan yang namanya Oedipus berhasil menjawab teka-teki Sphinx. Jawaban Oedipus, makhluk yang dimaksud adalah manusia. Ketika pagi, sewaktu bayi, berjalan dengan empat kaki. Kala dewasa, siang hari dua kaki. Senja kala renta, 2 kaki dengan bantuan tongkat. Malam hari kala sekarat, merangkak mendekati kematian. Keberhasilan Oedipus menjawab teka-teki membuat Sphinx tidak berdaya dan mudah dikalahkan. Badan Sphinx lalu diangkut oleh keledai ke kota untuk bukti kemenangan. Dan seperti di dongeng-dongeng, Oedipus pun menjadi Raja. Sebenarnya cerita lanjutannya menarik, tapi bukan fokus tulisan ini. Cerita detailnya kenapa ada nama Oedipus complex dan bagaimana nasib Oedipus bisa dibaca disini.
Cerita tentang Sphinx ternyata bukan hanya dongeng belaka. Banyak perumpamaan yang ada di cerita ini. Sepertinya pengarang mitologi Sphinx ingin menyampaikan suatu pesan yang halus tentang Sains. Sphinx dengan penggambaran muka perempuan, seperti sains yang menawarkan keindahan mencandra alam semesta. Tapi Sphinx juga digambarkan bersayap dan mempunyai cakar. Sains juga memiliki sifat yang sama, dapat menerbangkan ide dari satu individu ke individu lainnya. Tapi Sains juga mempunyai cakar yang tajam, yang menoreh dalam ke dalam pikiran. Dengan pertukaran argumen serta empirisme data, sains merobek persepsi lama tentang dunia yang kita kenal.
Posisi Sphinx yang berada di atas bukit menggambarkan bahwa sains senantiasa terlihat jauh dari jangkauan. Ketika manusia dalam perjalanannya mendekati Sphinx, ia melompat menghadang dan mengajukan pertanyaan. Manusia dalam perjalanan kehidupan membangun peradaban, akan menjumpai masalah, dalam cerita digambarkan sebagai Sphinx. Jikalau ia bisa memecahkan masalah dengan metode sains, maka ia akan mendapat kejayaan. Kita bisa lihat di rentang sejarah, peradaban yang berhasil menyelesaikan masalah-masalah mereka seperti pangan, pertanian, penyakit bahkan bencana alam akan menjadi peradaban yang maju dibanding sekitarnya. Benarlah seperti yang dikatakan Kelly Clarkson di lagunya “What doesn’t kill me, will make me stronger”. (Friedrich Nietzsche seorang filsuf Jerman adalah orang yang pertama kali mengucapkan kalimat tersebut.)
Hal ini pula yang membuat bangsa Mesir meletakkan Sphinx di depan piramid-piramid mereka. Bukan sebagai makhluk mitos yang menerbitkan tahayul dan ketakutan pada orang-orang yang melihatnya. Bangsa Mesir kuno seakan menantang para manusia setelah mereka. Jika ingin mengetahui isi dan rahasia piramid, lewatilah teka-teki (Sphinx) dan pecahkanlah dengan Sains.
Apakah analogi Sains sebagai Sphinx berhenti sampai disini? Belum. Setelah dikalahkan oleh Oedipus, Sphinx hanyalah jasad yang dapat diangkut oleh keledai. Tidak ada satu pun orang yang takut memegang Sphinx lagi. Hal yang sama berlaku di sains, ketika suatu formula, teori, hukum dicetuskan oleh Saintis, maka siapa pun dapat mempelajarinya dengan mudah. Bayangkan bagaimana “mudahnya” kita memahami gerakan orbit planet dengan hukum Newton. Tapi sebelumnya? Bahkan para filsuf Yunani masih berdebat mengapa batu yang dijatuhkan dari atas tiang kapal yang berjalan, jatuh tepat di bawah tiang, bukan bergeser sedikit. Sama halnya di Teori Evolusi, bahkan sahabat dekat Charles Darwin, Huxley bilang gini, “Simpel sekali teori ini, coba aku yang nemuin.” Contoh terakhir, untuk kita, mudah memahami bagaimana DNA menginstruksikan sel menjadi protein. Tapi generasi orang-tua kita yang bersekolah di tahun 60 dan 70-an mungkin belum mendapat pengetahuan ini. Wong DNA strukturnya aja baru ketemu tahun 60-an.
Sphinx menerima teka-teki dari dewa-dewi penyanyi Muse yang selalu membuat syair-syair indah. Teka-teki yang indah jika diucapkan oleh Muse, berubah menjadi ancaman. Di tangan Sphinx, teka-teki dari Muse menjadi penentu nasib manusia yang sial bertemu dengannya. Apakah analogi sains tersembunyi pula disini? Bisa jadi. Sains pada ranah akademis memang sesuatu yang menyenangkan. Tidak heran banyak orang merasa nyaman di kepompong akademik mereka. Tidak mau beranjak ke dunia kerja yang kejam. Tapi ketika masalah di dunia nyata, Sains berubah menjadi monster yang kejam. Salah membuat kalkulasi atau gagal menerka hukum alam, maka kematian menunggu di ujung jalan. Cerita Scott & Amundsen dua penjelajah Antartika, cocok untuk menggambarkan kejamnya alam dan sains jika kita salah menjawab “pertanyaan”.
Kesuksesan dalam menjawab pertanyaan Sphinx atau sukses menerka teka-teki alam, berhadiah kejayaan dan kesuksesan. Orang yang menguasai sains dan teknologi akan menguasai alam beserta manusia di dalamnya. Tidak heran Augustus Cesar menggunakan gambar Sphinx sebagai cap resmi kerajaannya. Simbol yang mengandung pesan pada wilayah-wilayah jajahan Roma seterang matahari di musim panas.
“Roma yang maha kuat menguasai Teknologi dan Manusia sekalian.”
Sumber: prasdianto.blogspot.co.id