Chapter I. Introduction
Suatu hari di tahun 1950-an, seorang Ilmuwan asal Italia bernama Enrico Fermi lagi duduk-duduk di 7-Eleven bareng teman-temannya. Sambil minum Slurpee mereka ngobrol-ngobrol ringan kira-kira seperti ini:
Fermi: Guys, kan katanya di luar sana banyak planet yang bisa nampung kehidupan ya?
Ferma: Katanya sih iya.
Ferme: Kayaknya si Drake cuma asal ngitung tuh.
Fermo: Memangnya kenapa?
Fermi: Aku mikirnya gini, kalau memang banyak kehidupan disana, dan banyak makhluk pintar … kenapa makhluk tersebut belum datang kemari ya?
Ferma/Ferme/Fermo: …
Fermi: Where is everybody?
Artikel asli dalam bahasa Inggris dapat Anda baca di sini.
Di suatu malam yang jernih, coba sempatkan sekali waktu memandang ke langit penuh bintang.
Sebagian orang terutama yang lagi galau pasti tergugah hatinya dan langsung berubah menjadi pujangga, sedangkan sebagian orang lainnya mungkin merasa bodo amat.
Tapi siapapun pasti merasa ada yang kurang, “Umm wait … there’s something wrong!”
Langit sedemikian luas, bintang sedemikian banyak, tapi kenapa sebegini sunyi senyap. Kemana perginya semua orang? Kenapa belum ada yang datang ke sini?
Kalau kita berpegang pada Drake Equation, seharusnya kita mendapatkan hasil kurang lebih 1.000 sampai 100.000.000 civilization di galaksi Bima Sakti saja. Masa dari segini banyak civilization nggak ada satupun yang nyasar ke sini? Ini yang dirasain oleh Enrico Fermi kala itu.
Chapter II. Tipe-tipe Peradaban
Tahun 1964 Nikolai Semenovich Kardashev yang berasal dari Rusia mengajukan proposal jenis-jenis peradaban yang ada di alam semesta ini. Total ada 3 jenis peradaban.
Peradaban Tipe I yaitu peradaban yang menggunakan planet sebagai sumber energi, bahkan cenderung menghabiskan sumber daya planet itu sendiri. Kita mungkin berada disini, walaupun belum sepenuhnya. Carl Sagan bilang peradaban manusia itu masih di kisaran 0,7.
Peradaban Tipe II yaitu peradaban yang menuai energi dari bintang induk mereka. Bagaimana caranya mungkin masih gelap untuk manusia, tapi seseorang bernama Freeman Dyson dengan berani-beraninya berteori kalau peradaban tersebut membuat kubah sebesar Sharivan (lebih besar dari Gavan dong) yang menutupi bintang, lalu mengubah radiasi panas dari bintang itu menjadi energi. Kubah ini dinamakan Dyson Sphere.
Peradaban Tipe III jauh lebih advance dong dari kedua peradaban diatas. Nah peradaban tipe ini sudah menuai energi dari seluruh galaksi mereka. Sepertinya memang susah dibayangin, tapi kalau dibandingkan dengan peradaban manusia yang baru 100 ribuan tahun, dengan usia bumi yang 4.5 miliar tahun saja kita sudah seperti ini, apalagi ada sebuah peradaban kuno yang usia planetnya katakanlah 8 miliar tahun? Ingat lho, Big Bang itu terjadi 13 miliar tahun yang lalu, mungkin saja kan ada peradaban kuno sebelum Bumi yang sudah berevolusi ketingkat ekstrim. Who knows? Bayangin saja, evolusi teknologi manusia 4 miliar tahun yang akan datang kaya gimana.
Oh well, yang pasti si sifat dasar peradaban tipe III adalah ekspansif. Dimana mereka akan membuat koloni-koloni di planet dan bintang yang ada di galaksi mereka. Spore? Everyone?
Ini memang spekulatif, tapi kalaulah kita anggap rentang waktu sebuah peradaban lompat dari satu sistem planet ke sistem lain adalah 500 tahun, maka kurang lebih dalam 3.5 miliar tahun harusnya mereka sudah menguasai seisi galaksi.
Spekulasi lagi, kalau 1% saja dari seluruh peradaban intelek tersebut survive cukup lama sampai masuk ke peradaban kategori III, hitungannya kurang lebih ada 1.000 peradaban tipe III di galaksi kita saja loh. Bagaimanapun, biar sedikit pastilah kita orang pinggiran mendeteksi atau paling tidak merasakan kehadiran mereka. Tapi nyatanya kita nggak melihat apapun, nggak mendengar apapun, dan nggak dikunjungi siapapun.
Jadi “WHERE THE HELL IS EVERYBODY?!” – selamat datang di Fermi Paradox.
Chapter III. Jawaban dari Fermi Paradox
Terus terang belum ada jawabannya. Tapi paling tidak kita bisa bilang kemungkinan terbaik yang bisa menjelaskan paradox itu adalah kurang lebih sebagai berikut:
Grup 1: Tidak ada yang namanya peradaban Tipe II dan III, makanya nggak ada tanda-tanda dari mereka.
Grup ini menyatakan kemungkinan peradaban tipe I nggak bakal sampai ke tipe II atau III karena ada sesuatu yang menyebabkan begitu, yang dinamakan The Great Filter.
Gambarnya kira-kira seperti ini:
Pada suatu kurun waktu, semua peradaban berlomba-lomba berevolusi dari tipe 0 ke tipe diatasnya, sampai suatu saat mereka terbentur dinding yang memfilter sebagian besar dari mereka, yang menyebabkan cuma segelintir saja dari mereka yang bisa terus berevolusi ke tahap berikutnya. Analogi lain dari ini adalah sperma, anggap saja sperma ayah Anda berlomba-lomba ke sel telur ibu Anda sampai akhirnya menjadi Anda.
Nah, kalaulah kita anggap teori ini benar, yang jadi pertanyaannya adalah, bilamana (kapan) The Great Filter ini terjadi? Kalau kita berkaca ke peradaban kita sendiri, lalu kita tanya kapan The Great Filter terjadi, maka jawabannya ada 3 dimana 3 kemungkinan itu adalah: We’re rare, we’re first, or we’re fucked.
1. We’re Rare. Kita satu-satunya anomali yang berhasil melewati The Great Filter.
Teorema ini didukung Peter Ward dalam bukunya Rare Earth. Disini kita anggap The Great Filter sudah terjadi, nggak tahu entah itu saat kita melompat keluar dari kolam primordial dari bentuk protein organik ke makhluk hidup bersel tunggal, ketika Hominidae mulai belajar mukul memakai tulang, ketika Australopithecines mulai berjalan menggunakan dua kaki, atau bahkan event katatrospik yang lewat-lewat. Kalau memang begini ceritanya, kita adalah pemenang dan dengan kemajuan teknologi kita, bisa dibilang nggak ada lagi yang bisa menahan kita untuk terus berkembang jadi tipe II dan III.
2. We’re First. Kita yang pertama melewati The Great Filter.
Sama dengan poin 1 diatas, cuma bedanya kali ini ada beberapa peradaban lain yang berhasil melompati The Great Filter, cuma sayangnya mereka mengekor di belakang kita. Kita tetap jadi pemenang. Breaking the filter bukan sekedar anomali, tapi cuma probabilitas dan walaupun probabilitas-nya kecil, tapi kita berhasil.
3. We’re Fucked. Kita belum melewati The Great Filter.
Ini yang bikin eneg, kemungkinan paling jelek adalah kiamat belum datang. Bisa jadi The Great Filter itu, asteroid salah alamat, Gamma-ray bursts atau yang paling radikal adalah semua kehidupan dirancang untuk self destruct. Icarus yang terbang terlalu tinggi terbakar matahari, kerajaan yang terlalu megah akan hancur dengan sendirinya seperti Kerajaan Mesir atau Kerajaan Romawi. Sedangkan dalam kehidupan modern kita sekarang, kita mengenal istilah global warming dan perubahan iklim. Dalam nilai-nilai filosofis, saya lebih setuju dengan alasan ini. Bagus dalam mengerem kesombongan manusia.
Grup 2: Adalah antonim dari grup 1 yang menyatakan Tipe II dan III ada, tapi ada alasan logis kenapa kita tidak mendengar apa-apa dari mereka.
Grup ini mengesampingkan The Great Filter dan menyatakan evolusi itu terjadi ubiquitous dan lumrah. Peradaban manapun bisa menjadi tipe I/II/III. Grup ini mengajukan beberapa kemungkinan:
1. Entitas super intelek kemungkinan sudah pernah ke bumi, tapi pada zaman dahulu kala.
Dasar pemikirannya seperti ini: Yaelah manusia pintar kaya gini baru berapa lama sih? Paling lama 100.000 tahunan yang kalau dibandingin sama skala usia alam semesta nggak ada seujung kukunya. Kalau memang kehidupan lain sudah berevolusi miliaran tahun lalu, bisa jadi mereka sudah pernah ke Bumi sudah dari kapan tahun. Bisa jadi ketika mereka kesini, planet ini masih dipenuhi raptor sama T-Rex jadinya mereka pergi lagi. Atau ketika datang yang ada hanya orang-orang hitam bugil nari-nari ngelilingi api, nggak penting gitulah pokoknya.
2. Bumi ada di daerah pinggiran.
Analoginya, kalau yang ramai banyak manusianya itu Jakarta, Bumi itu ada di Boven Digoel Papua. Sebenernya ini sama dengan teori dasar Urban Planning yang mengatakan sebaran Central Bussines District itu teraglomerasi (bergumpal) ke pusat kota. Kalau dalam galaksi kita anggap pusat kotanya ya pusat galaksi.
3. Peradaban tipe III nggak mau ikut campur urusan peradaban primitif.
Coba bayangkan, peradaban tipe II atau III sudah advance, mereka sudah bisa menuhin semua kebutuhan mereka tanpa harus kemana-mana, ngapain lagi ngurusin manusia dan bumi yang nggak penting. Kalau yang saya bayangkan, peradaban tipe III itu sudah semi dewa yang tinggal menjentikan jari sudah bisa membuat apapun sekehendak mereka. Atau mungkin mereka sudah naik level jadi The Elevated One (semacam goal semua makhluk hidup), mereka sudah nggak tinggal lagi di dimensi fisik, mereka sudah nanggalin atribut fisika mereka dan cuma tinggal kesadaran murni, imajine that! Seperti tinggal di dunia matrix, immortal lagi.
4. Galaksi dalam perang bintang.
Kenapa kita nggak mendengar sinyal apa-apa dari luar sana? Karena semua orang lagi ngumpet di planet mereka masing-masing. Cuma ada satu makhluk idiot bernama manusia yang terus menerus ngirim sinyal ke angkasa, awas saja ntar didatengin predator baru nyaho dah. Beberapa film Hollywood sudah mengambil tema ini, misalnya Battleship dan Avenger. Stephen Hawking sendiri sudah mewanti-wanti agar manusia jangan melakukan kontak sama sekali sama alien, ini sama saja ngundang maut. Ingat nggak peradaban Aztec yang hancur didatangin penjajah Spanyol, nah kita bakalan mirip kayak gitu ntar. Teknologi kita jauh nggak ada apa-apanya dibanding mereka, kalau benar kita diinvansi habislah.
5. Ada satu peradaban super yang dominan di galaksi.
Ini seperti film Highlander, “There can be only one.” Jadi satu peradaban ini bakal datang ngehancurin semua peradaban yang dianggap mengancam kedaulatan mereka. Hancurkan sebelum tumbuh berkembang. Atau mungkin semua makhluk hidup di galaksi sengaja dikembangbiakkan sama mereka untuk suatu saat bakal dijadikan bahan baku makanan. Ingat The Harvester di Star Trek dan Mass Effect?
6. Manusia terlalu primitif.
Oke! Siapa bisa kasih garansi kalo alien masih memakai teknologi kuno bernama radio sederhana? Bahkan dalam usianya yang belum ada 200 tahun, kita sendiri menganggap teknologi itu sudah kuno. Sudah terganti oleh IrDA, GSM, CDMA, LTE, etc. Lha wong SETI masih pakai radio kok. Bisa jadi alien sudah memakai teknologi Subspace atau Undus-Mundus network untuk berkomunikasi, tapi kitanya saja yang belum tahu gimana cara dengarnya. Michio Kaku menganalogikan begini, “Manusia tidak ubahnya semut yang sama sekali tidak sadar ada jalan layang 10 jalur disamping sarang mereka.”
7. Kita sudah mendapat kontak, tapi pemerintah menyembunyikan kenyataan ini.
Ini cerita favoritnya penggemar teori konspirasi. Ceritanya di adopsi oleh film Men in Black.
8. The Prime Directive.
Diantara semua pilihan, ini adalah pilihan yang paling masuk akal. Star Trek tampaknya mengadopsi pola pikir ini. Intinya, semua makhluk cerdas di galaksi sana sudah berkongsi satu sama lain, dan membentuk federasi. Lalu untuk melindungi keragaman kultural, mereka menerapkan sebuah peraturan untuk tidak melakukan kontak kepada peradaban dibawah tipe II. Alasannya banyak, selain oleh karena keragaman kultural itu sendiri adalah karena ketidaksiapan peradaban primitif itu. Ingat kata Thor yang bilang, dengan buat senjata menggunakan energi dari Tesseract berarti manusia sudah siap ke perang dengan level lebih tinggi. Nah bayangin, kalau nggak ada Prime Directive dengan seenaknya peradaban tinggi menjajah dan menghancurkan peradaban rendah (seperti Navy Seal lawan suku terasing Amazon yang masih memakai tombak), ya habislah peradaban di galaksi ini. Nggak ada lagi kesetimbangan peradaban. Ini yang ingin dijaga oleh federasi. Tampaknya poin nomor 8 inilah yang paling disukai oleh pengemar UFO.
Diluar grup 1 dan 2 diatas, ada satu lagi solusi Fermi Paradox yang rada nyeleneh, yaitu:
Tidak ada yang namanya realitas, manusia hidup dalam simulasi komputer.
Kayaknya mengawang-awang dan fantastis, tapi jangan salah loh, ini beneran ada paper ilmiahnya, yang bikin orang Oxford pula, namanya Nick Bostrom. Paper-nya bisa dilihat disini.
Katanya ada entitas super cerdas di sebuah universe yang sedang membuat simulasi alam semesta, yaitu alam semesta yang kita tinggali sekarang. Nah sayangnya yang diprogram baru manusia, belum ada alien-alien lainnya. Sedangkan luasnya alam semesta cuma berupa hologram saja, sebenarnya alam semesta simulasi itu terbatas seperti di film Truman Show.
Chapter 4. Penutup
Pusing kan? Bagaimanapun namanya teori ya cuma sebatas teori, semua berbalik lagi ke kepercayaan masing-masing. Yang bisa diambil hikmahnya adalah, dalam Fermi Paradox, manusia cenderung dalam posisi insignificant alias nggak penting. Ini bagus buat dasar filosofis, bagaimana kita sekali lagi menyadari betapa kecilnya diri kita sendiri di alam semesta ini.
Sumber: www.kaskus.com